WIRAUSAHA INDONESIA
Hasil
wawancara dan kuesioner yang penulis ajukan ke sekitar 500 mahasiswa sepanjang
tahun 2005 di enam Perguruan Tinggi (PT) di jakarta, masing – masing mewakili
PT kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas, menunjukaan hasil yang cukup
merisaukan kita tentang motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa. Pertanyaan
yang diajukan kepada para mahaasiswa adalah Apa
yang akan mereka lakukan setelah menyelesaikan pendidikan atau setelah
memperoleh gelar sarjana, mencari pekerjaan (menjadi pegawai), menjadi
wirausahawan, atau menjadi karyawan sambil berwirausaha? Sebagian besar
sekitar 76 persen menjawab akan melamar kerja atau dengan kata lain menjadi
pegawai (karyawan). Kemudian, hanya sekitar 4 persen yang menjawab ingin
berwirausaha. Selebihnya menjawab menjadi karyawan sambil berwirausaha. Hasil
wawancara dengan para mahasiswa itupun menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda.
Artinya,
bahwa orientasi para mahasiswa setelah lulus hanya untuk mencri kerja, bukan
menciptakan lapangan kerja. Rupaannya cita – cita seperti ini sudah berlangsung
lama terutama di Indonesia dengan beragai sebab. Jadi, tidak mengherankan jika
setiap tahun jumlah orang yang menganggur terus bertambah. Sementara itu,
pertumbuhan lapangan kerja semakin sempit. Hasil wawancara dan kuesioner
tersebut memang belum menunjukkan secara utuh cita-cita mahasiswa setelah lulus
kuliah. Namun, paling tidak hasil ini sudah memberikan sedikit gambaran betapa
pola pikir untuk menjadi wirausaha di kalangan mahasiswa masih sangat kecil.
Pola
pikir yang diwujudkan dalam cita-cita untuk menjadi pegawai sebenarnya sudah
terjadi di berbagai belahan dunia sejak puluhan tahun lalu. Seorang penulis
buku tentang motivasi yang terkenal, yaitu max
Gunther pernah mengkritik sistem pendidikan di Amerika Serikat tahun 70-an
yang katanya hanya akan melahirkan lulusan “Sanglaritis”
yang artinya mereka mempunyi mental buruh, yaitu ingin menjadi pegawai negeri
atau pegawai swasta. Mereka kurang mampu dan mau menciptakan lapangan kerja
sendiri. Bahkan, untuk kasus Indonesia hal itu masih terjadi sampai sekarang.
Di
Indonesia sampai akhir 2005 diperkirakan 12.000.000 orang menganggur, naik
hampir 11 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah ini 11,3 persen dari angkatan
kerja tahun 2005 sebesar 106.888.000. dari total 12.000.000 pengangguran ini sekitar
10 persen atau hampir 1.000.000 adalah
kaum intelek yang menyandang gelar pendidikan perguruan tinggi. Lalu
pertanyaanya, siapa yang salah, mahasiswa, para orang tua, atau pemerintah,
jawabnnya tentu tergantung dari sudut mana kita memandang, kita tidak dapat
mengambinghitamkan salah satu pihak.
Masing-masing memiliki peran tersendiri, baik langsung maupun tidak langsung
akibat pola pikir yang belum atau tidak mau diubah.
Dari
hasil penelitian, mahasiswa sulit untuk mau dan memulai wirausaha dengan alasan
mereka tidak diajar dan dirangsang untuk berusaha sendiri. Hal ini juga
didukung oleh lingkungan budaya masyarakat dan keluarga yang dari dulu selalu
ingin anaknya menjadi orang gajian atau pegawai. Di sisi lain, para orang tua kebanyakan
tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk berusaha. Oleh karena itu,
mereka lebih cenderung mendorong anak-anak mereka untuk mencari pekerjaan atau
menjadi karyawan. Orang tua juga merasa lebih bangga, bahkan sebagian merasa
terbebas, bila anaknya yang telah selesai kuliah mampu menjadi pegawai. Dan
faktor yang tidak kalah pentingnya adalah tidak ada atau sulitnya memiliki
modal untuk berwirausaha.
Sementara
itu, pemerintah kurang begitu tanggap untuk mengubah pola pikir masyarakat.
Kalaupun ada, sebagian kecil baru dimulai tahun 1990-an, baik melalui materi
kuiah atau cara-cara lain. Baru pada tahun 2000-an kegiatan wirausaha mulai
digalakkan lagi. Pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi (memasukan mata
kuliah dan materi) diharapkan mampu menciptakan jiwa-jiwa wirausaha sehingga
mereka mampu mandiri dan menciptakan lapangan kerja yang setiap tahun bertambah
terus.
Dalam
hal pendidikan kewirausahaan (Entrepreneurship),
Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan luar negeri, bahkan di beberapa
negara pendidikan tersebut telah dilakukan puluhan tahun yang lalu. Misalnya,
di negara-negara Eropa dan Amerika Utara pendidikan kewirausahaan sudah dimulai
sejak 1970-an. Bahkan di Amerika Serikat lebih dari 500 sekolah sudah mengajarkan
mata kuliah kewirausahaan era tahun 1980-an. Sementara itu, di Indonesia pendidikan
kewirausahaan baru mulai dibicarakan era tahun 1980-an dan digalakkan tahun 1990-an. Hasilnya kita
patut bersyukur bahwa dewasa ini sudah mulai berdiri beberapa sekolah yang
memang beorientasi untuk menjadikan mahasiswanya sebagai calon pengusaha unggul
setelah pendidikan. Meskipun masih terdengar sayup gaung lahirnya
wirausaha-wirausaha baru, paling tidak kita sudah memulainya.
No comments :
Post a Comment